Siapa tak kenal Albert Eistein? Jenius fisika ini pada tahun 1905 berhasil merumuskan teori relativitas yang intinya: massa dapat diubah jadi energi. Berlandaskan teori ini, para ilmuwan lainnya mengembangkan teknologi senjata nuklir. Meskipun sejatinya energi nuklir bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, misalnya untuk membangkitkan energi listrik, atau untuk inovasi di bidang kedokteran, namun sayang sejarah kelam sudah tertoreh. Teori relativitas Einstein telah dikembangkan untuk sebuah teknologi paling mematikan: pembuatan bom nuklir. Bom itu telah diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki, meluluhlantakkan kedua kota dan menewaskan 200.000 jiwa seketika, dan puluhan ribu lainnya mati perlahan akibat radiasi nuklir. Meski demikian, sejumlah negara masih tetap memroduksi dan menyimpan senjata nuklir sehingga konon, jumlah senjata nuklir yang ada di muka bumi saat ini, bila diledakkan, bisa menghancurkan bumi ini lima kali (ledakan pertama, bumi hancur lebur, lalu seandainya, bumi bisa utuh kembali, masih bisa diledakkan lagi sampai hancur, dan bila bumi bisa kembali utuh, persediaan nuklir yang ada masih cukup untuk menghancurkannya lagi, dst, sampai lima kali).
Eistein sangat menyesali situasi ini. Apalagi, dia sering ‘dituduh’ sebagai ‘dalang’ dari pembuatan bom atom. Dalam berbagai interview, Einstein menegaskan bahwa dia bukanlah “bapak bom atom”.
“I do not consider myself the father of the release of atomic energy. My part in it was quite indirect.”
Penyesalan terbesar Einstein adalah karena dia menulis surat kepada Presiden AS saat itu, Roosevelt, memperingatkan bahwa NAZI Jerman sudah melakukan inovasi yang berpotensi membuat senjata nuklir; dan menyarankan agar AS juga melakukan penelitian di bidang nuklir. Namun, penelitian yang kemudian dilakukan di bawah kendali militer AS (Manhattan Project) justru tidak melibatkan Einstein, dan bahkan para saintis yang terlibat dalam proyek itu dilarang berkonsultasi dengan Einstein, karena Einstein dianggap sebagai saintis dan aktivis berhaluan ‘kiri’ sehingga berpotensi ‘mengganggu keamanan’.
Saat tragedi Hiroshima-Nagasaki terjadi, Einstein berkata, “Woe is me” [celakalah aku]. Dia benar-benar menyesali telah menulis surat kepada Roosevelt. Motivasinya saat itu ingin mengantisipasi riset yang dilakukan NAZI, yang berlandaskan pengetahuannya sebagai ahli fisika, riset itu -bila berhasil- akan berdampak buruk bagi umat manusia. Namun pengetahuan Einstein ini malah kemudian dimanfaatkan oleh AS untuk kejahatan kemanusiaan. Dalam wawancaranya dengan Newsweek, Einstein berkata, “Seandainya aku tahu Jerman akan gagal dalam riset itu, aku tidak akan melakukan apapun [tidak akan menulis surat kepada Roosevelt-pen]. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya, Einstein menjadi aktivis penentang senjata nuklir dan penyeru perdamaian.
Kini, seandainya Eistein masih hidup, apa yang akan dia katakan, bila melihat kolega-koleganya, para ahli fisika nuklir di Iran, satu persatu gugur dibunuh oleh agen-agen Israel?
Fidel Castro (mantan Presiden Kuba), dalam
tulisannya berjudul “The Risk of a Nuclear War with Iran. What would Einstein Say?” mengutip paper yang ditulis jurnalis terkemuka AS [dan notabene sangat pro Israel]
Jeffrey Goldberg, yang berisi analisisnya mengenai ‘apa yang akan dilakukan oleh AS dan Israel menghadapi Iran’. Goldberg menulis, bahwa “foiling operations” (Operasi Penggagalan) akan dilakukan oleh agen-agen Israel, AS, Inggris, dan kekuatan-kekuatan Barat lainnya. Menurut Goldberg, “Operasi Penggagalan ini adalah sebuah program yang didesain untuk menumbangkan upaya nuklir Iran melalui sabotase, pelenyapan para saintis nuklir Iran melalui upaya yang hati-hati. Operasi ini akan merintangi kemajuan Iran secara signifikan.”
Tulisan Goldberg ini memang terbukti. Sejak tahun 2007, tercatat sudah tiga ilmuwan nuklir Iran terbunuh, satu ilmuwan lainnya terluka parah, namun bisa selamat. Mereka adalah, Ardeshir Hosseinpour, dibunuh tahun 2007; Dr. Massoud Ali Mohammadi, dibunuh pada Juli 2010; dan Prof. Majid Shariari, dibunuh bulan November 2010. Sementara itu, Fereydoon Abbasi, ahli fisika laser dari Shahid Beheshti University dan istrinya juga mendapat serangan bom dan terluka parah, namun berhasil selamat. Cara pembunuhan umumnya sama, yaitu dengan menggunakan bom kendali jarak jauh. Pada Agustus 2010, insinyur Iran pakar pembuatan pesawat tanpa awak, juga gugur terbunuh dalam ledakan bom.
Pada bulan Januari 2011, seperti diberitakan Press TV, badan intelijen Iran sudah berhasil membongkar jaringan teroris yang melakukan misi pembunuhan terhadap para saintis nuklir Iran itu, dan para teroris itu mengaku dilatih dan didanai oleh Israel.
Sebelumnya, harian terkemuka Inggris, Telegraph, pada 5 Des 2010 merilis sebuah artikel tentang otak di balik aksi teror terhadap saintis Iran ini, yaitu Meir Dagan. Pembunuh berdarah dingin ini adalah salah satu direktur Mossad dan dialah yang merancang berbagai aksi pembunuhan terhadap musuh-musuh Israel. Artikel lengkap bisa dibaca di
sini .
Sungguh sebuah aksi yang sangat kotor:
menggunakan pembunuhan terhadap ilmuwan sebagai sebuah strategi politik luar negeri.
Gambar: Meir Dagan, Mossad; dan
Mobil ilmuwan Iran, Fareydoun Abbasi ,
yg hancur oleh bom (photo diambil dari sini) Fidel Castro dalam artikelnya menulis sebuah paragraf yang sangat menarik,
“Saya tidak ingat ada kejadian lain dalam sejarah dimana pembunuhan saintis telah menjadi kebijakan resmi sekelompok penguasa yang bersenjatakan nuklir [maksud Castro: AS, Israel, Inggris, dkk, adalah negara-negara pemilik nuklir—pen]. Yang paling buruk lagi, dalam kasus Iran, strategi ini diterapkan terhadap sebuah negara Islam yang meskipun seandainya mereka mampu menguasai teknologi senjata nuklir, mereka tidak akan membuatnya karena akan berhadapan dengan budaya dan agama; warga Iran bahkan bersedia untuk mati jika negaranya sampai melakukan kriminalitas serupa musuh-musuh mereka [menggunakan senjata nuklir-pen].”
Kalimat lain yang menarik dari Castro, “Pada era Diaspora [masa ketika Yahudi terpencar-pencar], kaum kiri dunia bersatu dalam solidaritas terhadap bangsa Israel. ..Orang-orang mengutuk kamp-kamp konsentrasi yang ingin diabaikan oleh Eropa dan kaum borjuis dunia. Tapi kini, para pemimpin negara Israel justru mempraktekkan genosida dan menjadikan diri mereka sebagai kekuatan paling reaksioner di muka bumi.”
Dari kalimat ini kita bisa melihat bahwa telah terjadi perubahan pandangan terhadap Israel. Tidak hanya kaum ‘kiri’ [note: Castro adalah negarawan berhaluan kiri], masyarakat dunia, dari berbagai ras dan agama, bahkan Yahudi sekalipun, kini sudah bisa melihat jelas kejahatan Israel. Aksi-aksi lintas agama-lintas negara seperti Viva Palestina, atau ekspedisi Mavi Marmara, membuktikan hal itu.
Dan sekali lagi, seandainya Eisntein masih hidup, apa yang akan dia lakukan? Sangat mungkin, dia akan berada di tengah para aktivis penentang Israel, dan bahkan akan berada di atas kapal Mavi Marmara!