Posted on 10 Desember 2007 by Rovicky
i
2 Votes
Istilah
Blue Energy tiba-tiba marak dalam minggu-minggu ini karena berita di koran yang cukup
bombastis dengan mengatakan bahwa
Blue Energy Versi Indonesia ini berbahan dasar air laut. Bahkan bahan bakar ini juga hanya dengan menggunakan mesin diesel, tanpa modifikasi lagi. Silahkan baca websitenya
Pak Presiden SBY
Blue Energy atau Minyak Indonesia Bersatu adalah bahan bakar sintetik yang dibuat dari substitusi molekul Hidrogen dan Karbon tak jenuh. Proses pembuatannya sama dengan minyak fosil, namun dengan kadar emisi yang jauh lebih rendah.
“Pakdhe, Jangan-jangan Pak SBY kena HOAX ?”
“Hust !”
Yang ternyata lebih menghebohkan adalah kutipan dari
Jawapos sini
“Berbahan Dasar Air, Dipamerkan dalam Konferensi PBB
NGANJUK- Tak banyak yang tahu, penemu bahan bakar blue energy yang sedang dikampanyekan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata berasal dari Nganjuk. Dia adalah Joko Suprapto, warga Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso.“
Wah mentang mentang warna biru itu warna laut terus dibilang bahwa yang dimaksud
blue energy itu berbahan dasar air laut …
Blaik !!!
Akhirnya istilah
blue energy ini mungkin sudah menjadi sebuah
kelirumologi di Indonesia ketika bersamaan dengan konferensi UNCCC di Bali tentang
Global Warnming . Yang jelas mesti ada teori yang berbau keilmuan dibelakang semua ini, dan ada sesuatu ang dapat dipakai sebagai dongengan, kan ?
Apaan sih Blue energy
Tidak ada satu kalimat yang tepat yang saya temukan untuk mendefinisikan
Blue Energy. Istilah
Blue energy hanyalah istilah yang sering dipakai untuk menamakan sumber-sumber penghasil energi yang ramah lingkungan. Biru sering dianggap sebagai manifestasi langit biru ataupun laut biru yang jernih dan bebas polusi. Ada juga yang mengistilahkan sebagai
green energy, karena dianggap energi yang ramah lingkungan.
Sumber energi yang disebut-sebut sebagai Blue Energy seringkali bersumber dari sumber energi terbarukan termasuk sumber-sumber energi non-fosil, atau lebih tepatnya
non carbon based energy, artinya bahan dasarnya bukan berupa rantai karbon. Misalnya Energi Air Laut, Energi Geothermal, Energi angin, Energi Surya, dan lain-lain.
Namun sepanjang perjalanan sejarah, energi karbon masih merupakan energi termudah untuk diolah dan didapatkan, ditransport juga dimanfaatkan. Termasuk didalamnya adalah BioEnergi. Bio Energi sendiri masih merupakan Carbon Based, atau masih berupa rangkaian karbon. Sumber Bioenergi ini bisa bersumber dari BioGas, Bio ethanol, minyak jarak, minyak goreng (CPO-Crune Palm Oil) yang diubah menjadi BioDiesel dll.
Energi berbahan dasar Karbon (Carbon Based Energy)
Awalnya pembakaran karbon sebagai sumber tenaga ini dimulai dari pemanfaatan batubara atau batu arang yang tentusaja masih merupakan rangkaian karbon (C). Namun dalam proses pemanfaatan atau konversi energinya, arang batu ini dibakar begitu saja dipakai untuk memanaskan air. Pemanasan air ini yang merubah energi panas menjadi energi tekanan dan menyebabkan pergerakan piston. Dan itulah awalnya mesin uap oleh James Watt. Yang akhirnya tenaga piston uap juga dapat menghasilkan listrik seperti PLTUap (berbahan bakar batubara) .
Minyak bumi sebagai bahan bakar masa kini.
Bahan bakar karbon itu termasuk bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) dan juga sebenarnya Bioethanol dan Biogas-pun termasuk
Carbon Based Energy, maksudnya merupakan energi yang bersumber dari pembakaran rantai H-C (
Hydrogen dan
Carbon). Dalam pemanfaatan
Carbon Based Energy ini diperlukan mesin bakar (
combustible) dalam menghasilkan energi yang akan dipakai. Carbon based energy ini mulai marak ketika diketemukan minyak dengan pemboran pada akhir 1800-an. Di Indonesia pencarian minyaknya juga sudah sangat lama, bahkan sumur Talaga Said (Sumatra Utara) termasuk pengeboran kedua di dunia. dibor tahun 1885.
Pemanfaatan minyak bumi sendiri akhirnya meningkat tajam sejak tahun 1950-an (pasca PD II) karena juga didukung oleh penemuan mesin bakar yang akhirnya
locking (terkunci) antara mesin motor bakar dengan bahan bakarnya.
Penguncian mesin dengan bahan bakar inilah yang menyebabkan kebutuhan batubara merosot tajam dalam penggunaannya. Jadi merosotnya penggunaan batubara ini bukan akibat batubara yang berkurang cadangan maupun produksinya.
Dengan meningkatnya teknologi serta peningkatan taraf hidup manusia, kebutuhan energipun meningkat. Kebutuhan minyak bumi tentusaja meningkat sesuai dengan tingkat hidup. Semakin meningkatnya kebutuhan minyak bumi ini menyebabkan harga minyak terus menanjak. Disatu sisi akhirnya justru menuntut manusia untuk meikirkan bahan-bakar lain supaya tidak perlu mengganti mesin tetapi membuat minyak buatan (
synfuel).
Synfuel (Synthetic Fuel) – Bahan Bakar Buatan
Synfuel adalah singkatan dari
Synthethic Fuel (bahan bakar sintetis) merupakan sebuah bahan bakar yang masih memanfaatkan rangkaian
HC (Hidrokarbon) sebagai dasarnya.
Synfuel ini masih menggunakan teknik subsitusi, artinya mengganti minyak alami dengan minyak buatan. ya buatan … prosesnya dengan dasar proses kimia sederhana yang sebenarnya sudah berusaia lebih dari ratusan tahun
.
Ada beberapa macam cara untuk memperoleh rangkaian Hidrokarbon ini. Masing-masing dikembangkan berdasarkan proses kimiawi yang berbeda. Di alam bebas, proses ini terjadi secara alamiah dengan memanfaatkan energi panas (dari bumi) dan mereaksikan unsur-unsur yang juga sudah ada secara alami. Namun proses ini sangat khusus, sehingga tidak disembarang tempat akan dijumpai minyak dan gas bumi.
1. Synfuel dari Coal Gasification:
- Gasification 2C + ½O2 + H2O → 2CO + H2
- Water gas shift CO + H2O → H2 + CO2
- F-T reaction CO + 2H2 → CH2 + H2O
- Net reaction 2C + H2O+ ½O2 → CH2 + CO2
Proses ini memerlukan 2C dan setengah O2 dan menghasilkan satu CO2 untuk setiap CH2 yang diproduksi. Artinya menggantikan minyak dengan bahan bakar sintetik dari batubara (coal synfuel) akan melipatgandakan hingga 3 kali lipat penggunaan batubara dan menghasilkan duakali lipat CO2.
(F-T atau Fischer- Tropsch reaction adalah reaksi (2n+1)H
2 + nCO → C
nH
(2n+2) + nH
2O
2. Synfuel dari Coal Gasification + H2 dari pemisahan air:
- Gasification C + 1/4O2 + 1/2H2O → CO + 1/2H2
- Water-splitting 3/2H2O + Energy → 3/2H2 + 3/4O2
- F-T reaction CO + 2H2 → CH2 + H2O
- Net reaction C + H2O + Energy → CH2 + 1/2O2
Dengan penambahan hydrogen (H2) dalam proses ini telah meningkatkan proses pembuatan
synfuel dari batubara. Kebutuhan karbon menjadi berkurang setengah dari sebelumnya. dan TIDAK ada CO2 yang ikut terproduksi !
Tentunya hal ini akan sangat-sangat menarik karena akan dinilai ramah lingkungan (
environment friendly).
Pertanyaan selanjutnya adalah “darimana memperoleh Hidrogen ?” Salah satunya adalah dengan proses elektrolisa. Ya dengan memanfaatkan teknologi nuklir atau melalui PLTN.
“whaddduh, hati-hati Pakdhe nanti dianggap menyalahi hukum Islam kalau bilang PLTN , soale sudah difatwa haram looh pakdhe”
“Hust ini bukan soal agama, ini sekedar ilmu untuk bermimpi “
Untuk memperoleh Hidrogen ini ternyata ada bebrapa cara yang efisiensinya berbeda untuk berbagai cara pemanasan dengan cara elekstrolisa. Bisa dilihat perbedaanya seperti di sebelah ini. Sebagai catatan saja, produksi H2 saat ini yang sudah dapat diimplementasikan dengan elektrolisa temperatur rendah.
Jadi dengan demikian hanya dengan penambahan H2 dari proses
water splitting sudah akan mengurangi kadar CO2 yang dihasilkan. Saat ini Amrik sudah mampu memproduksi 11 Juta ton H2 pertahun tetapi melalui proses penguapan dan pengalihan bentuk (
reformation) dari metana (CH4). Dimana tentusaja proses ini masih tergantung energi fosil dan masih menghasilkan CO2 sebesar 100 juta ton pertahun. Masih belum benar-benar
biru, ya ?
Menurut Schultz, dkk (baca referensi dibawah), sebuah pembangkit berkapasitas 1100MW mampu memproduksi 360 ton H2/hari dengan efisiensi sebesar 24% efficiency. Dengan demikian masih diperlukan ribuan PLTN untuk mensupport pembuatan serta transportasi pembuatan
synfuel. Seandainya terdapat efisiensi perolehan H2 hingga 50% tentunya kebutuhan powerplant menjadi setengahnya.
3. Synfuel dari penangkapan CO2 (CO2 Capture) + H2 dari pemisahan air (Water-splitting):
- Reverse Water Gas Shift CO2 + H2 → CO + H2O
- F-T reaction CO + 2H2 → CH2 + H2O
- Water-splitting 3H2O + Energy → 3H2 + 3/2O2
- Net reaction CO2 + H2O + Energy → CH2 + 3/2O2
Tidak ada batubara yang diperlukan sebagai sumber Carbon. membutuhkan CO2 untuk memproduksi satu bagian CH2. Dan ketika CH2 dibakar maka emisi CO2 menjadi nol karena prosesnya menggambil CO2.
CO2 dari mana ?
Bagaimana kalau sekarang CO
2nya juga diambil dari udara. Loooh hiya bisa saja, kan ?. Memang benar ada sebuah metode penangkapan CO2 dari udara, alatnya juga sudah ada CO
2 capturing. Salah satunya dengan memanfaatkan karbon yang dilepaskan oleh cerobong gas disebut
Flue Gas.
Powerplant (pembangkit) berbahan bakar batubara sebesar 1000MW menghasilkan 5.5 juta tons of CO
2/tahun atau kira kira (14,500 tons/hari). Di amerika saja kira-kira 53% (0.38TWh) dari total pembangkit listriknya menggunakan batubara dan menghasilkan 2 billion tons of CO
2/tahun ini sama saja total CO
2 yang dibutuhkan untuk transportasi dalam setahun !! Jadi dengan recycle “
flue gas” atau cerobong gas sudah mampu memotong 50% emisi karbon.
Dapat juga dipakai dengan CO
2 yang ditangkap dari udara. Ya menangkap dari udara bebas. Bahkan saat ini sudah diproduksi walaupun masih untuk penelitian yaitu penangkapan CO
2 dari udara seperti disebelah ini.
Jadi secara menyeluruh kalau saja proses ini semua sudah menjadi proses yang dapat dilakukan dalam sebuah pabrik minyak sinthetic akan terjadi proses daur ulang karbon yang
benar-benar biru !
Nah sekarang kita tahu ada beberapa tahapan dalam menghasilkan synfuel atau BBS (bahan bakar sintetis). Pembuatannyapun berbeda-beda, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Termasuk kelebihan menghasilkan CO2
.
Kalau saja proses itu semua disebandingkan maka akan diketahui seberapa besar karbon yang dihasilkan. Lihat dibawah ini :
Secara lengkap kalau keseluruhan proses ini digabungkan maka akan diperoleh sumber bahan-bakar yang mungkin akan benar-benar biru (BBB). Maksudnya
mimpi manusia untuk mendapatkan bahan bakar yang
benar-benar biru dalam artian akan ramah lingkungan, rendah atau bahkan tanpa emisi karbon.
Tapi sekali lagi, proses inipun masih menyisakan pertanyaan. Proses ini adalah proses
endoterm, yaitu proses (reaksi kimia) yang
membutuhkan energi. Nah dari mana energi ini ? Kan ini reaksi kimia biasa, masih tidak mungkin menyalahi hukum fisika. Ini dongengan selanjutnya saja ya
.
Blue Energy versi SBY !
“Pakdhe, jadi yang mana yang dibuat Pak SBY, dhe ?”
“Hust, Pak SBY ngga buat, beliau hanya mensupport sebuah usaha untuk mengurangi emisi Carbon. Dan juga beliau sangat menhargai penelitian tentang bahan-bakar sintetis ini”
Menurut bocoran dari dalam
kubu SBY, bahwa yang sudah dilakukan Indonesia adalah tahap dimana membuat
synfuel ini dengan
gasifikasi. Mungkin proses antara yang pertama dan kedua diatas. Dimana Hydrogennya diperoleh dari “pemecahan air” (
water splitting). Untuk 2000 liter air perlu ditambah kira2 3-8 kg carbon (tergantung air yang dipakai) untuk menghasilkan 1600 liter BBM. Karena air ini sebagai komponen mayoritas maka beberapa orang salah kaprah bilang BBM dari air. Kalau air formasi (air dari separator proses pemisahan minyak dan air di sumur minyak) yang dipakai, carbon yg ditambah lebih sedikit karena air formasi banyak mengandung karbon bebas. Kelompok ini juga sudah mencoba coba air formasi dari 2 lapangan di Sumatra dan 1 Lapangan di Jawa Timur.
” eh, Pakdhe katanya ‘refinery‘ yang 5400 Bbl/hari sudah 95 % selesai, ya?. Wah bagus juga pak SBY”.
“Whallah koe iki mau ikutan tebar pesona !”
Yang mesti harus difikirkan adalah bagaimana emisi yg terbuang ketika memperoleh semua bahan-bahan ini termasuk ketika menghasilkan H2-nya dan juga pemanfaatannya (motor bakar). Karena walaupun pembakaran dalam mesin mobil dianggap lebih bersih, masih harus didihitungkan pula emisi yang terbuang ketika memproduksi
synfuel ini.
Apapun yang telah dilakukan dengan
Blue Energy ini di Indonesia (Minyak Indonesia Bersatu), tentusaja usaha ini harus diapresiasi. Karena sudah menunjukkan langkah kongkrit dalam mengatasi dan ikut serta berkiprah dalam pengembangan teknologi pembuatan minyak sintetis.
Namun harus tetap diingat dalam artikel ini hanya menunjukkan pembuatan minyak sitetis itu memungkinkan. Soal keekonomian serta bagaimana dengan mencari sumber energi primer (karena proses ini endoterm) ya silahkan baca tulisan lain dibawah ini.
Apakah yang diatas itulah yang dimaksud BE-nya si Minyak Indonesia bersatu ? Silahkan simak dibawah ini :