Sejauh ini kita tahu bahwa tegangan AC
berubah-ubah polaritasnya dan arus AC berubah-ubah arah arusnya. Kita
juga tahu bahwa listrik AC nilainya dapat berubah-ubah dalam berbagai
macam cara, dengan men-tracing nilai-nilai yang berubah-ubah ini dalam
domain waktu, maka kita akan memperoleh berbagai macam bentuk gelombang
AC. Kita dapat mengukur laju pergantian tersebut dengan mengukur waktu
yang diperlukan gelombang itu untuk membentuk gunung dan satu lembah
(periode),dan menyatakannya dalam jumlah putaran/cycle per satuan waktu,
atau “frekuensi”.
Namun, kita akan menemukan masalah
apabila kita mencoba untuk menyatakan seberapa besar atau seberapa kecil
nilai AC itu. Dalam DC, dimana nilai tegangan dan arusnya secara umum
adalah konstan, adalah mudah untuk menyatakan nilai “tunggal” tegangan
atau arus DC itu. Tetapi dalam AC, kita akan menemukan sedikit masalah
saat akan menyatakan nilai arus atau tegangan dalam suatu rangkaian.
Bagaimana mungkin kita bisa menyatakan besar nilai AC ini dalam nilai
magnitudo tunggal sedangkan nilai AC ini besarnya selalu berubah-ubah?
salah satu cara untuk menyatakan nilai
AC, atau magnitudo (terkadang disebut juga dengan amplitudo) dari suatu
besaran AC adalah dengan mengukur tinggi puncak dari bentuk
gelombangnya. Nilai ini dikenal dengan peak atau crest dari gelombang
AC.
Cara lain untuk mengukur besar nilai AC
adalah dengan mengukur tinggi total antara dua puncak yang polaritasnya
berlawanan. Atau lebih dikenal dengan nama nilai peak-to-peak (p-p) dari
gelombang AC.
Sayangnya, diantara kedua cara pengukuran
magnitudo ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman saat membandingkan
dua macam gelombang yang berbeda. Misal, suatu gelombang kotak (square)
yang mencapai puncak pada nilai 10 volt, tentu saja memiliki nilai
tegangan yang lebih besar dari pada gelombang segitiga (triangle) yang
mempunyai puncak 10 volt juga. Kedua macam gelombang ini akan memberikan
efek yang berbeda saat menyuplai daya pada suatu beban.
Salah satu cara untuk menyatakan
amplitudo dari bentuk gelombang yang berbeda dalam bentuk yang lebih
ekivalen adalah dengan cara menghitung nilai rata-rata matematis dari
semua titik pada grafik gelombang tersebut menjadi nilai yang tunggal.
Pengukuran amplitudo seperti ini dikenal dengan nama nilai rata-rata
(average) dari gelombang AC. Apabila kita menghitung rata-rata pada
semua titiik pada grafik itu secara aljabar (tanda posistif dan
negatifnya diperhitungkan juga) maka nilai rata-rata ini secara teknis
kebanyakan bernilai nol, karena semua titik yang bertanda positif akan
saling mengurangi dengan semua titik yang bertanda negatif dalam satu
gelombang penuh.
Luas daerah yang dilingkupi gelombang itu
akan memiliki luasan yang sama antara bagian luas yang berada diatas
nilai/garis nol dengan luasan yang berada di bawah nilai/garis nol.
Tetapi, dalam pengukuran praktis pada suatu gelombang dinyatakan dalam
nilai agregat, “nilai rata-rata” biasanya dinyatakan secara matematis
tetapi nilai titik-titik yang diambil adalah nilai absolut (semua nilai
dianggap positif semua) dalam satu gelombang penuh.Ini berarti,
gelombang tersebut dianggap memiliki nilai-nilai yang positif semua
seperti ditunjukkan pada gambar ini:
Alat ukur gerak mekanik yang tidak
sensitif terhadap polaritas (alat ukur yang didisain sehingga dapat
merespon setengah siklus yang bernilai positif dan negatif secara sama
pada listrik AC) akan mampu membaca nilai rata-rata gelombang
ini(rata-rata nilai yang absolut), karena inersia dari jarum penunjuk
akan melawan gaya pegas secara alami yang besarnya adalah rata-rata dari
nilai arus atau tegangan AC pada selang waktu tertentu.Sebaliknya, alat
ukur gerak mekanik yang sensitif terhadap polaritas akan menhasilkan
pengukuran yang sia-sia apabila digunakan untuk mengukur arus atau
tegangan AC, jarum penunjuknya akan berosilasi secara cepat disekitar
angka nol, menunjukkan bahwa hasil pengukuran rata-ratanya sama dengan
nol (saat digunakan untuk mengukur gelombang AC yang simetris). Pada
pembahasan di sini, apabila dinyatakan nilai rata-rata suatu gelombang
AC, itu maksudnya adalah rata-rata dari nilai absolutnya.
Metode lain untuk mendapatkan nilai
agregat dari amplitudo suatu gelombang adalah berdasarkan dari kemampuan
gelombang itu untuk melakukan kerja yang berguna/efektif saat
dipasangkan pada suatu resistansi beban. Sayangnya, pengukuran AC
berdasarkan kerja yang dapat dilakukan gelombang ini tidak sama seperti
nilai “rata-rata” gelombang, karena penyerapan daya oleh beban (kerja
yang dilakukan per satuan waktu) tidak berbanding lurus dengan magnitudo
dari nilai arus dan tegangan pada beban itu. Tetapi, penyerapan daya
oleh beban itu berbanding lurus dengan kuadrat tegangan atau arus yang
dipasangkan pada beban itu (P = E2/R dan P = I2 R).
Perhatikan dua macam gergaji yang
berbeda, yaitu gergaji pita (bandsaw) dan gergaji ukir (jigsaw), dua
buah peralatan modern yang digunakan tukangg kayu. Kedua jenis gergaji
pemotong ini memiliki bentuk yang tipis, bergerigi, pisau logamnya
digerakkan oleh motor listrik digunakan untuk memotong kayu. Kalau
gergaji pita, pisaunya bekerja dalam gerakan yang kontinu dan arahnya
tetap saat memotong kayu, tetapi untuk gergaji ukir, gerakan pisaunya
maju-mundur. Mungkin perbandingan antara AC dan DC dapat dianalogikan
dengan perbandingan antara gergaji pita dengan gergaji ukir ini.
Masalah yang timbul saat kita mencoba
untuk menyatakan nilai AC dalam nilai tegangan dan arus yang tunggal,
masalah yang sama juga ditemui saat kita ingin mengukur analogi gergaji
ini : bagaimana kita dapat menyatakan kecepatan dari gerakan pisau
gergaj itu? Gergaji pita bergerak dalam kecepatan yang konstan, sama
seperti tegangan DC atau arus DC yang memiliki magnitudo yang konstan.
Tetapi untuk gergaji ukir, gerakannya maju-mundur, kecepatan dari
gerakan pisaunya berubah secara konstan. Gerakan dari pisau gergaji ukir
ini mungkin berbeda-beda tergantung dari disain mekanik gergaji
tersebut. Ada gergaji yang gerakan pisaunya mulus seperti fungsi
gelombang sinus, ada juga yang gerakan pisaunya mengikuti fungsi
gelombang segitiga. Untuk menentukan rating gergaji ukir ini berdasarkan
kecepatan puncak dari gerakan pisau mungkin akan menyebabkan
kesalahpahaman ketika membandingkan antara gergaji ukir yang satu dengan
gergaji ukir yang lainnya (atau saat dibandingkan dengan gergaji pita).
Walaupun pada kenyataannya gergaji-gergaji ini berbeda-beda cara
bergeraknya, tetapi tujuannya utamanya sama yaitu mereka semua digunakan
untuk memotong kayu. Perbandingan kuantitatif dari fungsi umumnya ini
dapat dijadikan dasar untuk menentukan rating gergaji berdasarkan
kecepatannya.
Berikut ini adalah gambar dari gergaji
pita dan gergaji ukir, dilengkapi dengan pisau yang identik (geriginya
sama, sudutnya, dll), memiliki kemampuan yang sama dalam memotong kayu
yang memiliki ketebalan yang sama dalam laju yang sama. Bisa kita
katakan bahwa kedua gergaji ini ekivalen kapasitasnya dalam proses
pemotongan.
Perbandingan yang mungkin bisa digunakan
untuk membedakan kecepatan gerak pisau antara gergaji pita dengan
gergaji ukir “maju-mundur” ini adalah : berdasarkan ke-efektif-annya
dalam memotong kayu. Ini adalah dasar yang bisa digunakan untuk
menyatakan pengukuran amplitudo suatu tegangan atau arus AC dalam bentuk
“ekivalen DC –nya” : berapapun besarnya nilai tegangan atau arus DC
akan menghasilkan jumlah penyerapan energi panas yang sama apabila
dihubungkan pada suatu nilai resistansi yang sama.
Kedua rangkaian diatas memiliki nilai
resistansi beban yang sama (yaitu 2 Ω) dan mampu menyerap daya panas
dalam jumlah yang sama (yaitu 50 watt), tetapi rangkaian yang kanan
disuplai daya AC sedangkan yang sebelah kiri disuplai daya DC. Karena
sumber tegangan AC pada gambar di atas nilainya adalah ekivalen (dalam
artian daya yang disuplai ke beban) dengan baterai DC 10 V, maka kita
bisa mengatakannya sebagai sumber tegangan AC “10 V”. Lebih tepatnya,
kita bisa mengatakan nilai tegangan AC ini : 10 volt RMS. RMS adalah
singkatan dari Root Mean Square, suatu algoritma yang digunakan untuk
mendapatkan nilai ekivalen DC dari titik-titik yang membentuk suatu
gelombang AC (pada dasarnya, langkah-langkahnya adalah : mengkuadratkan
semua nilai-nilai/titik-titik baik itu yang positif maupun yang negatif
dari gelombang itu, lalu merata-ratakan hasil kuadratnya, kemudian
meng-akar kuadrat-kan untuk mendapatkan nilai akhirnya). Terkadang,
selain disebut “RMS”, perhitungan seperti ini disebut juga dengan
istilah DC ekivalen, tetapi keduanya sama saja.
Pengukuran amplitudo RMS adalah cara
terbaik untuk menghubungkan nilai AC terhadap nilai DC, atau hubungan
antara berbagai macam gelombang AC, saat kita melakukan pengukuran daya
listrik. Untuk pertimbangan lain, terkadang pengukuran amplitudo secara
peak-to-peak (puncak ke puncak) lebih dibutuhkan. Misalkan, untuk
menentukan ukuran kawat yang pas (ampasitas) yang digunakan untuk
mengkonduksikan daya listrik dari sumber menuju beban, lebih baik
menggunakan pengukuran nilai RMS, karena prinsip RMS berkaitan dengan
arus yang dapat memanaskan kawat (dissipasi daya ditentukan dari arus
yang melewati resistansi kawat tersebut). Namun, saat menentukan rating
insulator yang akan digunakan pada peralatan AC bertegangan tinggi,
pengukuran nilai tegangan puncak (peak) lebih diprioritaskan, karena
prinsip pengukuran “puncak” ini berkaitan dengan nilai tegangan yang
tidak bergantung dengan vaariabel waktu.
Pengukuran Peak atau peak-to-peak mudah
diterapkan apabila kita menggunakan osiloskop, dimana alat ini dapat
menangkap nilai puncak dari gelombang dalam keakuratan yang tinggi
karena kerja dari tabung cahaya-katoda nya yang cepat dalam merespon
perubahan nilai tegangan. Untuk pengukuran RMS, alat ukur analog seperti
alat ukur gerak elektromekanik (D’Arsonval, Weston, iron vane,
elektrodinamometer) akan memberikan hasil pembacaan yang telah
dikalibrasikan dalam bentuk RMS. Karena inersia mekanik dan efek redaman
pada meteran gerak elektromekanik membuat simpangan pada jarum
penunjuknya secara alamiah proporsional dengan nilai rata-rata dari AC,
bukan nilai RMS, alat ukur analog harus dikalibrasi secara khusus (atau
tanpa dikalibrasi, tergantung dari segi mana anda membacanya) untuk
menampilkan nilai tegangan atau arus AC dalam satuan RMS. Keakuratan
dari kalibrasi ini bergantung dari bentuk gelombang mana yang kita
umpamakan, biasanya yang digunakan sebagai perumpamaan adalah gelombang
sinus.
Alat ukur elektronik harus didisain
secara khusus untuk melakukan pengukuran RMS. Beberapa produsen alat
ukur listrik telah mendisain suatu akal/metode untuk dapat menghitung
nilai RMS untuk suatu bentuk gelombang. Salah satunya adalah dengan
membuat alat ukur RMS dengan memakai elemen resistif kecil. Nilai RMS
ini akan proporsional/berbanding lurus dengan daya yang diserap oleh
elemen resistif tersebut dalam bentuk panas. Efek pemanasan pada elemen
resistif akan diukur secara thermal untuk memberikan suatu nilai RMS
tanpa perhitungan matematis,hanya menggunakan hukum fisika untuk
mendefinisikan nilai RMS itu sendiri. Keakuratan dalam mengukur nilai
RMS-nya tidak bergantung dari bentuk gelombangnya.
Untuk beberapa bentuk gelombang yang
“murni”, ada suatu konversi praktis untuk mengubah nilai-nilai
pengukuran amplitudo antara peak, peak-to-peak, rata-rata
(praktis/absolut, bukan aljabar),dan RMS. Untuk beberapa bentuk
gelombang dasar, ada rasio-rasio proporsional yang dapat digunakan untuk
menyatakan hasil pengukuran. Misal, faktor puncak (crest factor) dari
suatu gelombang AC adalah rasio antara nilai puncak (peak/crest) dibagi
dengan nilai RMS. Form factor dari suatu gelombang AC adalah rasio
antara nilai RMS dibagi nilai rata-ratanya. Gelombang berbentuk kotak
akan selalu memiliki faktor puncak dan form factor yang bernilai satu,
karena nilai puncaknya akan sama dengan nilai RMS dan nilai
rata-ratanya. Bentuk gelombang sinus memiliki nilai RMS 0.707 (satu per
akar dua) dan form faktor nya sebesar 1.11 (0.707/0.636). Bentuk
gelombang segitiga dan gigi gergaji memiliki nilai RMS sebesar 0.577
(satu per akar tiga) dan form factor sebesar 1.15 (0.577/0.5).
Tapi yang perlu diingat, rasio-rasio yang
telah disebutkan di atas hanyalah berlaku untuk bentuk-bentuk gelombang
AC yang “murni” (sinus, kotak, segitiga/gigi gergaji). Tetapi untuk
bentuk gelombang yang telah terdistorsi (rusak) seperti gambar berikut
ini, rasio-rasio di atas tidaklah berlaku.
Ini adalah konsep yang penting untuk
dipahami apabila anda melakukan pengukuran arus atau tegangan AC
menggunakan alat ukur analog (seperti jenis PMMC, D’Arsonval).
Pergerakan dari jarum penunjuk alat ukur analog ini hanyalah
dikalibrasikan untuk mengukur amplitudo gelombang sinus, yang hanya akan
menghasilkan pembacaan akurat apabila digunakan untuk mengukur
gelombang sinus murni, hasil pembacaan alat ukur ini bukanlah nilai RMS
dari geombang itu, karena derajat simpangan dari jarum penunjuknya
proporsional dengan nilai rata-rata dari gelombnag yang diukur, bukanlah
RMS. Pengkalibrasian alat ukur RMS adalah dengan cara menskala ulang
skala nilai-nilai yang tertera sehingga nilai-nilai pada skala itu
ekivalen dengan nilai RMS-nya, tetapi hanya untuk satu macam bentuk
gelombang saja.
Karena bentuk gelombang sinus adalah yang
paling sering ditemui dalam pengukuran listrik, bentuk gelombang yang
diasumsikan dalam proses kalibrasi alat ukur RMS ini adalah gelombang
sinus, dan suatu faktor pengali yang kecil digunakan pada angka-angka
hasil kalibrasi ini yaitu sekitar 1.1107 (form factor : 0.707/0.636 :
rasio yang diperoleh dari nilai RMS dibagi dengan nilai rata-rata
gelombang sinus). Untuk bentuk gelombang yang lain (selain bentuk
gelombang sinus murni) akan memiliki perbedaan rasio dari nilai RMS dan
nilai rata-ratanya, sehingga alat ukur yang telah dikalibrasi terhadap
gelombang sinus murni, tidak akan memberikan hasil pengukuran yang
akurat apabila digunakan untuk mengukur amplitudo suatu gelombang yang
non-sinus.Kesimpulannya, alat ukur AC analog tidak memberikan hasil
pembacaan nilai RMS secara alami.